PAPER : MENGUPAS PENYEBAB KONFLIK ANTARA SAMARIA DAN YAHUDI DALAM KITAB SUCI
NAMA:
BERNARDUS UMBU REWA
NIM : 206114033
FAKULTAS
TEOLOGI WEDHA BAKTI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
DIBALIK KONFLIK SAMARIA DAN YAHUDI
I.
Pendahuluan
Perjumpaan dan percakapan Tuhan Yesus
dengan perempuan Samaria dekat kota Sikhar (Yoh. 4:1-42) merupakan dialog
sosial yang terjadi antara orang Yahudi dengan orang Samaria. Perjumpaan yang
demikian ini, tidak biasa bagi orang orang Yahudi yang tidak bergaul dengan
orang Samaria. Sebab mereka merupakan "bangsa campuran yang memiliki agama
campuran, yang sekalipun demikian menerima Pentateukh dan mengaku menyembah
Allah Israel.[1]
Bangsa yahudi dan samaria adalah dua
kelompok keagaamaan di Yerusalem yang berbakti kepada Allah. Mereka percaya
bahwa Allah adalah satu satunya pelindung mereka. Oleh sebab itulah mereka
sangat menentang adanya politeisme. Kedua kelompok agama ini memiliki sejarah
yang Panjang dalam kitab suci. Mulai dari bagaimana proses mereka berkembang
menjadi suatu bangsa hingga pada akhirnya terjadi gesekan diantara mereka
sendiri. Gesekan inilah yang menyebabkan hubungan mereka retak seperti yang
dikisahkan dalam kitab suci. Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria
(Yoh 6:4).
Berhadapan dengan persoalan diatas penulis
akan mencoba menggali beberapa problem yang terjadi diantara bangsa yahudi dan
samaria, persoalan-persoalan yang membuat kedua pihak ini terus berseteru.
II.
ISI
Pada masa alkitab, orang samaria dan
yahudi adalah 2 kelompok yang juga sama sama percaya pada Allah YHWH. Kedua
kelompok ini sejak dulu mempertentangkan bahwa masing masing dari mereka adalah
kelompok yang sungguh benar. Masing masing menganggap dirinya sebagai sebuah kepercayaan
yang paling benar.
Bila
dilihat lebih jauh dari sisi sejarah historis, persoalan antara kedua kubu pada
zaman yesus disebabkan oleh banyak alasan. Alasan alasan tersebut membuat
adanya gesekan antara pihak Yahudi dan pihak Samaria. Kelompok Samaria
menganggap diri sebagai kelompok yang benar dan memandang yahudi sebagai
kelompok yang tidak benar. Tentu hal ini dilihat dari cara pandang masing
masing kelompok dari bagaimana mereka berbakti kepada YHWH.
Alasan
etnisitas
Pembuangan ke Babel adalah satu peristiwa
kelam yang hadapi oleh bangsa Israel ketika mengalami kekalahan terhadap bangsa
asyur. Pembuangan tersebut telah berakibat besar terhadap perkembangan populasi
mereka. Setelah pembuangan ke Babel, muncul berbagai persoalan baru antara kaum
Yahudi dan Samaria. Orang Samaria mulai kawin dengan berbagai macam orang asing
setelah pembuangan. Orang Samaria tidak lagi hidup murni sebagai Yahudi seutuhnya
sebab telah terjadi perkawinan darah dengan orang asing. Perkawinan dengan
orang asing tersebut juga membawa dampak terhadap cara hidup keagamaan kaum
samaria. Mereka mulai menggabungkan ada istiadat nenek moyang yang asli dengan
kepercayaan dari orang lain.
Orang samaria tidak lagi sepenuhnya
berdarah Israel murni seperti darah nenek moyang mereka Abraham. Pernikahan
campur antara Yahudi dan non Yahudi pun akhirnya menjadi masalah yang
meretakkan hubungan Samaria dan Yahudi. Alasan inilah yang menyebabkan orang
Yahudi sangat membenci Samaria. Bagi orang Yahudi, adalah sebuah kesalahan bila
telah kawin dengan suku bangsa lain. Hal ini tentu dimaksudkan oleh bangsa
Yahudi agar keturunan sebagai bangsa terpilih tetap terpelihara dalam kemurnian.
Yahudi ingin menjaga agar pribadi mereka tetaplah kudus dihadapan Allah dengan
tidak menjalin perkawinan dengan suku bangsa lain yang memiliki kepercayaan
berbeda. Pandangan kedua kelompok ini terhadap bakti kepada Allah saling
berbeda maka wajarlah bila akhirnya terjadi gesekan di antara mereka
Lokasi
penyembahan
Setelah masa pembuangan berakhir di Babel
pada tahun 535 SM, dan setelah mendapat pandangan keliru dari bangsa yahudi,
orang samaria akhirnya membangun sendiri tempat ibadah mereka di atas gunung
Gerizim. Pemisahan diri ini terjadi karena melihat adanya perbedaan cara
penyembahan mereka dengan orang yahudi kepada Allah yang sebelumnya terjadi di
Yerusalem. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa hal ini juga disebabkan oleh adanya
pencampuran kebudayaan yang terjadi antara samaria dan orang asing.
Orang Samaria percaya bahwa gunung
Gerizim adalah satu satunya tempat penyembahan yang dikehendaki Allah. Mereka
percaya pula bahwa daerah Gerizim yang hanya setinggi 500 tersebut sebagai
tempat yang kudus bagi Allah. Alasan tersebut tentu berasal dari kepercayaan
atau tradisi orang Samaria bahwa: pertama Gerizim adalah tempat dimana
Abraham akan menyembelih anaknya untuk dipersembahkan kepada Allah (Kej
22). Kedua, bagi orang Samaria,
Gerizim adalah lokasi yang digunakan Yosua untuk menegakkan 12 batu bagi setiap
suku Israel (Yos 4:1). Ketiga, Gerizim dipercaya sebagai tempat
peristirahatan bangsa Israel dimana mereka membangun kemah setelah keluar dari
perbudakan di Mesir.
Hal di atas justru sangat berbanding
terbalik dengan apa yang dipercaya oleh orang Yahudi. Bagi orang Yahudi, Yerusalem
adalah tempat yang dikehendaki dan dikuduskan oleh Allah sebagai tempat
penyembahan. Bagi mereka bait Allah di Sion diinginkan oleh Tuhan
(Mzm. 132:13) sebab Yerusalem diidentikkan dengan pusat ibadah yang disebut
tanpa nama dalam kitab Ulangan namun dapat dipahami bahwa Yerusalemlah yang
merupakan tempat pilihan, dimana Allah menempatkan nama-Nya. Semua itu karena Inisiatif Allah
terhadap rumah kediaman-Nya karena Allah sendiri yang berfirman kepada Salomo
(2Taw. 7:16), “Sekarang telah Kupilih dan Kukuduskan rumah ini, supaya namaKu
tinggal di situ untuk selama-lamanya, maka mata-Ku dan hati-Ku akan ada di situ
sepanjang masa.” Selain itu, Allah kemudian mempertegas kenyataan
bahwa Ia tinggal di dalam Bait Suci tersebut dengan cara memenuhi bangunan itu
dengan Syekina, yaitu asap kemuliaan Allah (2Taw. 7:11-14).
Kesimpulan
Salah satu unsur pertikaian yang
muncul di antara orang Samaria dan orang Yahudi yang disebutkan dalam Yohanes 4
adalah mengenai pusat ibadah. Orang Samaria mengakui Bait Suci di Gunung
Gerizim sebagai pusat ibadah, sementara orang Yahudi mengakui Bait Suci di
Yerusalem. Hasil penelitian pustaka menunjukkan bahwa orang-orang Samaria
membangun bait suci di Gunung Gerizim dengan berdasar pada lima kitab Musa yang
diteguhkan pada pengucapan berkat di tempat itu ketika bangsa Israel pertama
kali masuk Tanah Perjanjian. Dasar ini tidak cukup kuat, apalagi motivasi
pembangunan bukan untuk menyenangkan hati Tuhan melainkan sebuah ambisi untuk
menandingin bait suci di Yerusalem. Hal ini menunjukkan bahwa bait suci di
Gunung Gerizim bukanlah pusat ibadah yang dikehendaki Tuhan.
Lalu apakah maksud Yesus begitu berani
membuka luka lama yang telah terjadi antara orang Yahudi dan Samaria dalam
Yohanes 4: 9? bukankah Tindakan ynag dilakukannya sangat berlawanan dengan
keadaan saat itu?
Persoalan yang tidak terselesaikan
antara hubungan Yahudi-Samaria tampil di dalam sebuah konsep penyelesaian
melalui perjumpaan yesus dengan Perempuan Samaria. Kasih Yesus pada semua orang
sama. Baik pada orang Yahudi, orang Samaria dan non Yahudi. Hal yang paling
terlihat adalah keberanian Yesus mendobrak kebekuan dengan membuka komunikasi,
yang telah berlangsung ratusan tahun. Pernyataan Yesus dalam Lukas 10:29–37
juga memperlihatkan hal yang serupa , bahwa yang disebut sesama manusia
bukanlah sesama umat beragama, atau sesama ras. Melainkan, orang-orang yang
menjadisasaran belas kasihan. Yesus menegaskan bahwa Tuhan tidak menjadikan Bait
Suci di Gunung Gerizim ataupun di Yerusalem sebagai pusat penyembahan, karena
penyembah yang benar dan berkenan kepada Allah ialah penyembahan dalam roh dan
kebenaran, yang nyata dalam dirinya sendiri.
Referensi
1. Kitab
Suci
2.
Arifianto, Yonatan Alex. “Deskripsi
Sejarah Konflik Horizontal Orang Yahudi dan Samaria.”PASCA: Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen 16, no. 1 (2020): 33–39.
3. Arifianto,
Yonatan Alex dan Joseph Christ Santo “Studi Deskriptif
Teologis Pembangunan Bait Suci Orang Samaria di Gunung Gerizim.” Jurnal Teologi
Berita Hidup Vol 3, No 1, September 2020; 66-80
4. Harming
“metode penginjilan yesus dalam Yohanes 4:1-24.” Evangelikal: Jurnal Teologi
Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Volume 1, Nomor 2, Juli 2017
[1] Hengki
Wijaya, Kajian Teologis Tentang Penyembahan Berdasarkan Injil Yohanes 4:24,Jurnal
Jaffray 13, no. 1 (2015): 77
Komentar
Posting Komentar